Bab I
Pendahuluan
Pengertian hukum:
Hukum adalah suatu aturan yang di buat oleh orang yang berwenang,bersifat memaksa dan apabila melanggar mendapat sangsi,semuanya itu dilakukan demi ketentraman hidup manusia.
Hukum Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Hukum perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
• Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
• Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
• Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
• Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Hukum pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
Hukum tata negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.
Hukum tata usaha (administrasi) negara
Hukum tata saha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.
Hukum acara perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata.
Hukum acara pidana Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.
Asas dalam hukum acara pidana
Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
• Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
• Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
• Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
• Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
• Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
Hukum antar tata hukum
Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.
Hukum adat di Indonesia
Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.
Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Di dalam Al Quran surat 5:44, Barang siapa yang memutuskan sesuatu tidak dengan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir". Demikian juga dalam ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara keseluruhan
Pengertin dan penguraian tentang lingkungan:
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
Ilmu yang mempelajari lingkungan adalah ilmu lingkungan atau ekologi. Ilmu lingkungan adalah cabang dari ilmu biologi.
Konsep lingkungan di Indonesia
Lingkungan, di Indonesia sering juga disebut "lingkungan hidup". Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kelembagaan
Secara kelembagaan di Indonesia, instansi yang mengatur masalah lingkungan hidup adalah Kementerian Lingkungan Hidup (dulu: Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup) dan di daerah atau provinsi adalah Bapedal. Sedangkan di Amerika Serikat adalah EPA.
Bab II
Pembahasan
Pembalakan liar
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan. Fakta penebangan liar
Dunia
Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS[1]
Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar.[2]
Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.[3]
Amerika
Di Brasil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah.[4] Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan ilegal tersebut.
Produk kayu di Brasil sering diistilahkan dengan "emas hijau" dikarenakan harganya yang mahal (Kayu mahogani berharga 1.600 dolar AS per meter kubiknya).
Mahogani ilegal membuka jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas di Amazon.
Dampak pembalakan liar
Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
Kasus-kasus pembalakan liar di Indonesia
Kasus penebangan liar (illegal loging) yang hingga kini masih terjadi di beberapa daerah dan menjadi isu dunia dinilai telah merusak citra Indonesia di mata dunia. Sekalipun upaya pemberantasan penebangan liar ini masih terus dilakukan oleh beberapa pihak, namun hingga kini masih berlangsung, kata Kabid Humas Polda Bengkulu AKBP Faruk.
Pemberantasan illegal loging sudah menjadi salah satu prioritas yang harus diatasi oleh pemerintah, karena polisi juga akan melaksanakannya tanpa pandang bulu dan tawar-menawar. Khusus kasus pnebangan liar yang terjadi di Provinsi Bengkulu, Polda Bengkulu sudah menangani semaksimal mungkin.
Ia juga meminta Polres-Polres untuk mewaspadai, terutama yang wilayah hukumnya mempunyai hutan. Berdasarkan informasi, sejumlah daerah yang dianggap rawan illegal loging, yakni Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara dan Lebong. Polda Bengkulu bekerjasama dengan Dinas Kehutanan terus meningkatkan razia di jalur keluar-masuk Bengkulu, terutama mengecek keabsahan surat izin dan asal usul kayu yang dibawa.
Faruk meminta kepada warga yang selama ini bekerja sebagai pemotong kayu oleh perambah kayu ilegal agar menghentikan kegiatannya karena dapat merusak hutan. "Warga bisa beralih ke pertanian dengan memanfaatkan lahan yang ada dan belum didayagunakan," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Ir Soegita menjelaskan, kegiatan perambahan hutan masih terjadi di beberapa kawasan hutan di Bengkulu, sehingga mengancam rusaknya fungsi hutan. Salah satu hutan lindung yang dirambah ialah hutan lindung Taman Nasional NBBS di Merpas, Kabupaten Kaur.
Akibat perambahan yang menyebabkan gundulnya hutan, pihaknya pada 2004 lalu telah melakukan penanaman 2,5 juta pohon pada 2.500 hektare lahan yang gundul di sembilan kabupaten/kota. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu Ir Agus Priambudi M.Sc, mengungkapkan sekitar 60% dari 50.000 hektare kawasan hutan lindung di Bengkulu kondisinya kini rusak berat akibat kegiatan perambahan dan tidak pencurian kayu.
Bengkulu memiliki sembilan kawasan hutan lindung, khusus yang ada di Pulau Enggano kondisi hutannya masih relaif bagus, sedangkan delapan lainnya rusak berat akibat dirambah masyarakat untuk dijadikan kawasan perkebunan serta kegiatan penebangan kayu. Kerusakan terparah terjadi di kawasan Cagar Alam (CA) Dusun Besar, CA Pantai Panjang, Taman Burung Sembilan Bukit Kabu dan CA Pasar Ngalam.
Bahkan ada yang sampai mangatakan sepeerti ini:
Tue, 29 Apr 2008 20:26:25 -0700
Oleh Syahnan Rangkuti
Apakah ada kepastian hukum di negeri ini? Sangat sulit untuk
menjawabnya. Tidak sedikit orang yang percaya bahwa ketidakpastian
hukum, justru sesuatu yang pasti di negeri ini. Beda pendapat hukum
kasus pembalakan liar yang diusung oleh Kepolisian Daerah Riau sejak
awal tahun 2007 terhadap puluhan perusahaan kayu hutan tanaman
industri yang memiliki izin yang sah adalah salah satu contoh
ketidakpastian hukum di Tanah Air.
Hari Jumat (18/4) lalu, jajaran Kepolisian Resor Pelalawan menemukan
3.872 tumpukan kayu di lima kanal pada areal Hutan Tanaman Industri
(HTI) CV Alam Lestari. Dari perhitungan sementara, satu tumpukan kayu
memiliki volume rata-rata 30 meter kubik atau total seluruhnya
diperkirakan lebih dari 100.000 meter kubik.
Untuk menemukan kayu itu, aparat kepolisian yang disertai tim ahli
dari Institut Pertanian Bogor dan Dinas Kehutanan Pelalawan, harus
melewati jalan yang luar biasa sulit. Setelah menembus semak belukar,
tim operasi yang dipimpin oleh Kepala Polres Pelalawan Ajun Komisaris
Besar I Gusti Ketut Gunawa itu harus menelusuri kanal-kanal yang
dibangun di areal hutan gambut dengan menggunakan perahu.
Kanal-kanal itu ternyata tidak sambung-menyambung. Kanal yang sudah
dilewati tiba-tiba terputus alias dibendung. Untuk pindah ke jalur
kanal lain tidak ada jalan, kecuali mengangkat perahu kayu ke darat
sembari menyibak semak belukar sampai menemukan jalur kanal yang lain.
Setelah menempuh perjalanan hampir 12 jam, polisi akhirnya menemukan
3.872 tumpukan kayu itu yang dihamparkan pada bagian kanan dan kiri
kanal. Kayu-kayu itu terdiri dari tiga jenis, yakni kayu log dengan
diameter di atas 60 sentimeter (sebagian dari jenis meranti), kayu
bulat kecil dan kayu bulat serpihan. Tim ahli dari IPB yang ikut dalam
operasi menyimpulkan, kayu-kayu itu merupakan hasil tebangan dari
hutan alam. Dan, kayu-kayu itu patut diduga dari hasil pembalakan liar.
Dari jumlahnya yang spektakuler, penemuan kayu oleh polisi itu
seharusnya menjadi sebuah prestasi luar biasa istimewa. Namun,
sesungguhnya penemuan kayu oleh Polres Pelalawan ini bukan hal baru di
Riau. Sejak awal tahun 2007, jajaran Polda Riau menancapkan âkapak
perangâ terhadap pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahaan kayu
(terutama perusahaan HTI) yang berizin.
Pada pertengahan Juli 2007 lalu, Kepala Polda Riau Brigjen Pol
Sutjiptadi mengumandangkan penemuan kayu satu juta meter kubik dari
areal HTI PT Bina Duta Laksana (BDL) di Kabupaten Indragiri Hilir.
Namun sayangnya, kasus itu belum jelas lagi kelanjutannya.
Sampai sekarang, Polda Riau masih disibukkan oleh agenda untuk
melengkapi berkas perkara terhadap 14 perusahaan HTI yang tergolong
besar, termasuk PT BDL. Hal itu disebabkan, Kejaksaan Tinggi Riau
menyatakan berkas perkara yang disampaikan polisi belum lengkap untuk
dapat menuntut perusahaan itu telah melanggar aturan hukum.
Lengkapi berkas
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Djaenuddin Nare mengatakan, pihaknya
meminta polisi melengkapi berkas, terutama dari keterangan aparat
kehutanan negeri ini, baik dari Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota/Provinsi sampai Departemen Kehutanan. Kejaksaan Tinggi
Riau ingin berkas itu benar-benar lengkap agar ketika bertarung di
pengadilan, jaksa dapat memenangkan perkara.
âKami tidak ingin disalahkan masyarakat bila nantinya, akibat berkas
yang tidak lengkap, terdakwa dibebaskan oleh hakim,â kata Djaenuddin.
Pertimbangan hukum pemberian izin buat PT BDL dan semua perusahaan HTI
yang bermasalah mencapai 31 jenis peraturan perundang-undangan. Mulai
dari UUD 1945, UU Kehutanan, UU Konservasi Sumber Daya Alam, UU
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah tentang
Perlindungan Hutan, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
10.1/Kpts-II/2000 sampai peraturan daerah setempat.
Salah satu pertimbangan hukum yang menjadi masalah adalah bunyi
keputusan Menhut No 10.1/2000 yang menyatakan, izin HTI hanya dapat
diberikan pada areal kosong pada hutan produksi dan atau hutan yang
akan dialihfungsikan menjadi kawasan hutan produksi. Areal lain yang
dapat diberi izin adalah lahan semak belukar, padang alang-alang, atau
areal bekas tebangan yang rusak dengan potensi kayu bulat diameter 10
sentimeter tidak lebih lima meter kubik per hektar.
Sementara fakta di lapangan, areal hutan dari beberapa perusahaan HTI
merupakan hutan alam dengan tegakan vegetasi kayu yang berpotensi
lebih dari 50 meter kubik per hektar. Selain itu sebagian areal HTI
merupakan lahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari tiga meter
yang dikategorikan sebagai kawasan lindung.
Berdasarkan argumentasi polisi, prosedur pemberian izin untuk belasan
perusahaan HTI jelas menyimpang. Bila mengacu pada peraturan di atas,
izin HTI tidak layak diberikan kepada perusahaan HTI itu karena tidak
sesuai dengan persyaratan.
Masalahnya, siapa yang lebih berwenang mengatakan izin itu salah
prosedur? Polisi atau institusi Departemen Kehutanan?
Suara dari pengusaha HTI mengatakan, seyogianya sebelum menuduh
bersalah, sepantasnya polisi berdiskusi terlebih dahulu dengan
Departemen Kehutanan dan jajarannya yang telah memberikan izin buat
perusahaan mereka. Dengan merujuk izin Departemen Kehutanan, tentunya
ada penjelasan mengapa instansi pemerintah yang mengurus kehutanan itu
memberi izin dimaksud.
Berdasarkan sejarahnya, menurut versi Dinas Kehutanan Riau, hampir
semua HTI di Riau saat ini adalah pengalihan dari eks kawasan hak
pengusahaan hutan (HPH). Sebagian dari kawasan HPH itu tidak produktif
sehingga perlu diubah peruntukannya. Bila tetap berstatus HPH, dalam
waktu singkat, hutan Riau akan habis digarap secara liar. Dengan izin
HTI, Departemen Kehutanan justru menyelamatkan hutan Riau sekaligus
memberikan pemasukan buat negara dari hasil kayu.
Riau juga diberi hak istimewa membuka HTI demi mendukung kehadiran dua
industri pulp raksasa PT IKPP dan RAPP. Apalagi Menteri Kehutanan
memberikan dispensasi buat beberapa perusahaan HTI untuk membuka lahan
untuk mengejar moratorium tebang kayu hutan alam pada tahun 2009.
Targetnya, setelah tahun 2009, industri pulp dan kertas di seluruh
Indonesia tidak boleh lagi memakai kayu alam sebagai bahan baku. Tahun
2010 ke atas, semua industri pulp harus memakai kayu tanaman sendiri
untuk bahan baku. Kondisi itulah yang membuat Departemen Kehutanan
memberi dispensasi untuk izin-izin perusahaan HTI tadi.
Dengan kata lain, perusahaan HTI di Riau diberi kemudahan âmerusak
hutan alamâ di areal konsesi, asalkan kawasan itu langsung ditanami
sesuai rencana kerja tahunan (RKT) yang disahkan dinas kehutanan
setempat. Satu hal lagi, kayu-kayu yang berasal dari hutan alam itu
dapat dipakai untuk segala kepentingan (untuk industri pulp atau
pertukangan) asal pajaknya dibayar kepada negara.
Selama bertahun-tahun sejak dua perusahaan pulp and paper terbesar di
Indonesia, yakni PT Indah Kiat Pulp and Paper dan PT Riau Andalan Pulp
and Paper, berdiri di Riau, penggunaan kayu alam di kawasan HTI tidak
pernah dipermasalahkan. Asalkan, tebangan kayu alam itu sesuai dengan
RKT yang disahkan Dinas Kehutanan.
Ketika RKT disetujui, kayu alam di areal izin HTI dipersilakan untuk
ditebang, namun harus dilanjutkan dengan penanaman pohon pengganti
(akasia atau eucaliptus, sesuai RKT). Kayu-kayu yang ditebang dari
alam itu tidak gratis, alias dikenai pajak sesuai jenis dan jumlahnya.
Sebelum ditebang, kayu dalam areal RKT akan ditaksir volumenya. Kayu
bulat dan bagus memiliki harga yang lebih mahal dari kayu kecil.
Setelah kayu ditebang Petugas Pengawas Laporan Hasil Produksi mencatat
volume kayu berdasarkan jenis dan ukuran. Setelah itu, baru kayu-kayu
dibawa ke pabrik sesuai kebutuhan. Sebelum masuk pabrik, kayu masih
harus melewati pemeriksaan petugas kehutanan yang khusus memeriksa
kayu bulat (P3KB). Jadi kalaupun ada kesalahan pengukuran di awal,
masih ada denda yang mengikuti.
Pertanyaan pengusaha, apakah kayu yang ditebang dari areal yang telah
diberi izin dan telah pula dibayar cukainya kepada negara dapat
dikategorikan kayu ilegal?
Persoalan yang muncul saat ini sebenarnya lebih disebabkan tidak
jelasnya aturan yang dibuat oleh pengambil keputusan di negara ini.
Sudah menjadi rahasia umum, menteri baru akan mengubah ketentuan
menteri lama, sementara aturan lama kebanyakan tidak diubah. Alhasil,
produk perundang-undangan menjadi tumpang tindih dan tidak jelas fokusnya.
Sayangnya, sengketa hukum antara polisi dan Departemen Kehutanan itu
berjalan lambat dan sangat berlarut-larut. Praktis sejak Sutjiptadi
melancarkan perang pembalakan liar pada awal 2007, hampir satu
setengah tahun tidak ada kemajuan dalam kepastian hukum. Jangankan
mendapat kepastian hukum di pengadilan, polisi âseakanâ tidak mampu
memenuhi permintaan Kejaksaan Tinggi Riau untuk melengkapi berkas
perkara pembalakan liar itu.
Kasus hukum
Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli mengatakan, sengketa kasus hukum
kayu di Riau memang sangat berat. Logikanya, kalau tidak berat,
tentunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak akan membentuk tim
khusus penyelesaian kasus Riau di bawah koordinasi Menteri Koordinator
Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
Pada Maret lalu, tim Menko Polhukam sebenarnya sudah membuat
kesepakatan yang ditandatangani oleh 18 menteri, termasuk Menteri
Kehutanan dan Kepala Polri. Isi kesepakatan itu, kasus hukum terus
dilanjutkan di pengadilan sampai ada keputusan tetap. Terhadap
kayu-kayu sitaan yang diberi garis polisi, dapat dipakai dengan
beberapa ketentuan.
Kayu-kayu bermasalah itu harus segera dilelang untuk menghindari
kerugian yang lebih besar. Bila nantinya dalam lelang tidak ada
peminat, kayu itu dapat dipakai oleh perusahaan pemiliknya dengan
jaminan uang di pengadilan. Terhadap kayu-kayu yang tidak diberi garis
polisi, pemilik juga dapat memakai juga dengan jaminan uang di
pengadilan. Sehingga bila pada waktunya nanti sudah ada keputusan
mengikat, tidak sulit untuk menuntaskannya.
Hanya saja, kesepakatan itu mentah kembali karena Polda Riau
menyatakan Kesepakatan 18 Menteri bukanlah landasan hukum yang dapat
dipakai. Dalam bahasa sederhana, kesepakatan itu tidak dapat mengikat
polisi secara hukum. Menurut Wakil Kepala Polda Riau Komisaris Besar R
Suherman, kalaupun kayu-kayu yang sekarang ditelantarkan di hutan
(belum diberi garis polisi), bukan berarti kayu-kayu itu dapat disebut
sah.
Secara hukum, alasan Polda Riau tidak menerima Kesepakatan 18 Menteri
adalah sesuatu yang dapat dibenarkan. Kesepakatan 18 Menteri itu
memang bukan landasan hukum dan polisi berhak untuk tidak memakai
kesepakatan itu.
Hanya saja, secara politis, tindakan Polda Riau yang tidak mematuhi
Kesepakatan 18 Menteri itu sebenarnya dapat dikategorikan sebagai
sebuah âpembangkanganâ. Mengingat, tim Menko Polhukam (di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) sudah bersusah payah mencari jalan
keluar untuk tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar dari para
pengusaha dan negara.
Endro Siswoko, Ketua APHI Riau, tidak berkomentar banyak tentang tidak
tunduknya Polda Riau terhadap Kesepakatan 18 Menteri itu. Dia hanya
minta agar Menko Polhukam segera mencari jalan keluar baru untuk
menggantikan kesepakatan tadi.
Jadi memang benar kata Zulkifli, Kepala Dinas Kehutanan Riau, bahwa
kasus beda pendapat antara polisi dan Menteri Kehutanan bukan
persoalan enteng. Buktinya, Presiden saja sampai membentuk tim khusus
untuk menyelesaikannya.
Namun, kalau Presiden saja tidak mampu mempercepat penyelesaiannya,
siapa lagi orang di negeri ini yang dapat melakukan?
Bab III
Kesimpulan dan saran
Melihat fakta_fakta yang terjadi di masyarakat akan kesadaran hukum mereka,ini sangat menyedihkan,karena pemerintah yang membuat peraturan-peraturan hukum ternyata penerapannya sangat minim di masyarakat,kita ambil contoh saja seperti pembalakan kayu liar di hutan-hutan Indonesia secara illegal.
Dengan mengambil dari kasus tersebut seharusnya kesadaran hukum warga indonasia menjadi lebih besar.dan juga pemerintah lebih bertindak tegas terhadap pelanggar hokum yang terjadi di masyarakat,bukan hanya pada bidang lingkungan ini,melainkan padabidang lainnya juga.
Kesadaran hukum dari para warga Indonesia dapat terjadi apabila mereka sadar akan keperluan hokum itu sendiri.warga selalu mengabaikan hokum karma mereka tidak tau manfaat hokum bagi mereka.padahal hokum dapat mengatur kehidupan mereka bahkan ke tentrama hidup mereka.tapi saying ketidak sadaran mereka akan hokum membuat mereka buta akan hokum.
Belajar dari pengalaman lah mari kita sama-sama membangun negeri ini,minimal kita wujudkan dari sikap kita sebagai masyarakat yang taat hokum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar